Konvergensi Bidang Telematika dan UU ITE
Hasil konvergensi di bidang telematika
salah satunya adalah aktivitas dalam dunia siber yang telah berimplikasi
luas pada seluruh aspek kehidupan. Persoalan yang muncul adalah
bagaimana untuk penggunaannya tidak terjadi singgungan-singgungan yang
menimbulkan persoalan hukum. Pastinya ini tidak mungkin, karena pada
kenyataannya kegiatan siber tidak lagi sesederhana itu. Kegiatan siber
tidak lagi bisa dibatasi oleh teritori suatu negara dan aksesnya dengan
mudah dapat dilakukan dari belahan dunia manapun, karena itu kerugian
dapat terjadi baik pada pelaku internet maupun orang lain yang tidak
pernah berhubungan sekalipun misalnya dalam pencurian dana kartu kredit
melalui pembelanjaan di internet.
Meskipun secara nyata kita merasakan
semua kemudahan dan manfaat atas hasil konvergensi itu, namun bukan hal
yang mustahil dalam berbagai penggunaannya terdapat berbagai
permasalahan hukum. Hal itu dirasakan dengan adanya berbagai penggunaan
yang menyimpang atas berbagai bentuk teknologi informasi, sehingga dapat
dikatakan bahwa teknologi informasi digunakan sebagai alat untuk
melakukan kejahatan, atau sebaliknya pengguna teknologi informasi
dijadikan sasaran kejahatan. Sebagai contoh misalnya, dari suatu
konvergensi didalamnya terdapat data yang harus diolah, padahal masalah
data elektronik ternyata sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan
dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik.
Sehingga dampak yang diakibatkannya pun bisa demikian cepat, bahkan
sangat dahsyat[8].
Pesatnya perkembangan teknologi digital
yang hingga pada akhirnya menyulitkan pemisahan teknologi informasi,
baik antara telekomunikasi, penyiaran dan teknologi informasi merupakan
dinamika konvergensi. Proses konvergensi teknologi tersebut menghasilkan
sebuah revolusi “broadband” yang menciptakan berbagai aplikasi
baru yang pada akhirnya mengaburkan pula batasan-batasan jenis layanan,
misalnya VoIP yang merupakan layanan turunan dari Internet,
Broadcasting via Internet (Radio Internet dan TV Internet) dsb. Dengan
semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi, maka pengaturan
teknologi informasi tidak cukup hanya dengan peraturan
perundang-undangan yang konvensional, namun dibutuhkan pengaturan khusus
yang menggambarkan keadaan sebenarnya dari kondisi masyarakat, sehingga
tidak ada jurang antara substansi peraturan hukum dengan realitas yang
berkembang dalam masyarakat. Misalnya untuk kegiatan-kegiatan siber.
Meskipun bersifat virtual, kegiatan siber dapat dikategorikan
sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis untuk
ruang siber sudah tidak pada tempatnya lagi untuk mengkategorikan
sesuatu dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional untuk dapat
dijadikan objek dan perbuatan, sebab jika cara ini yang ditempuh akan
terlalu banyak kesulitan dan hal-hal yang lolos dari jerat hukum.
Kegiatan siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat
nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian subjek
pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah
melakukan perbuatan hukum secara nyata.
Aplikasi yang sangat banyak dipakai dari
kegiatan siber adalah transaksi-transaksi elektronik, sehingga
transaksi secara online saat ini menjadi issu yang paling aktual. Dan,
sebenarnya hal ini menjadi persoalan hukum semenjak transaksi elektronik
mulai diperkenalkan, disamping persoalan pengamanan dalam sistem
informasi itu sendiri. Tanpa pengamanan yang ketat dan canggih,
perkembangan teknologi informasi tidak memberikan manfaat yang maksimal
kepada masyarakat. Teknologi digital memungkinkan penyalahgunaan
informasi secara mudah, sehingga masalah keamanan sistem informasi
menjadi sangat penting.
Pendekatan keamanan informasi harus
dilakukan secara holistik, karena itu terdapat tiga pendekatan untuk
mempertahankan keamanan di dunia maya, pertama adalah pendekatan
teknologi, kedua pendekatan sosial budaya-etika, dan ketiga pendekatan
hukum[9].
Untuk mengatasi gangguan keamanan pendekatan teknologi sifatnya mutlak
dilakukan, sebab tanpa suatu pengamanan jaringan akan sangat mudah
disusupi, dintersepsi, atau diakses secara ilegal dan tanpa hak.
Satu langkah yang dianggap penting untuk
menanggulangi itu adalah telah diwujudkannya rambu-rambu hukum yang
tertuang dalam Undang-undang Transaksi dan Informasi Elektronik (UU No.
11 Tahun 2008 yang disebut sebagai UU ITE). Hal yang mendasar dari UU
ITE ini sesungguhnya merupakan upaya mengakselerasikan manfaat dan
fungsi hukum (peraturan) dalam kerangka kepastian hukum[10].
Dengan UU ITE diharapkan seluruh
persoalan terkini berkaitan dengan aktitivitas di dunia maya dapat
diselesaikan dalam hal terjadi persengketaan dan pelanggaran yang
menimbulkan kerugian dan bahkan korban atas aktivitas di dunia maya.
Oleh karena itu UU ITE ini merupakan bentuk perlindungan kepada seluruh
masyarakat dalam rangka menjamin kepastian hukum, dimana sebelumnya hal
ini menjadi kerisauan semua pihak, khususnya berkenaan dengan munculnya
berbagai kegiatan berbasis elektronik.
Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU
ITE meskipun secara umum pengaturannya tetapi cukup komprihensif dan
mengakomodir semua hal terkait dunia siber[11].
Materi yang diatur dalam UU ITE umumnya merupakan hal baru dalam sistem
hukum kita, hal tersebut meliputi : masalah pengakuan transaksi dan
alat bukti elektronik, penyelesaian sengketa, perlindungan data, nama
domain dan Hak Kekayaan Intelektual, serta bentuk-bentuk perbuatan yang
dilarang beserta sanksi-sanksinya[12].
Bila dilihat dari sudut pandang keilmuan,
UU ITE memiliki berbagai aspek hukum, sehingga dikatakan sebagai UU
multi aspek, karena banyak memiliki aspek, dan hampir seluruh aspek
hukum diatur. Aspek hukum transnasional, karena jelas-jelas UU ini
mengatur lingkup yang tidak saja di Indonesia tetapi melewati batas
negara. Aspek hukum pidana, mengatur Crime (kejahatan), Aspek Hukum
Perdata yang mengatur transaksi-transaksi di bidang bisnis. Aspek Hukum
Administrasi, karena menyangkut adanya pemberian izin oleh pemerintah
dan aspek hukum acara baik Pidana maupun Perdata[13].
Kita harus akui bahwa kritikan yang
bertubi-tubi juga terjadi pada UU ITE. Beberapa persoalan tersebut
menyangkut kepada : pertama, apakah transaksaksi dapat berjalan, karena
banyak persoalan teknis yang harus disiapkan khususnya menyangkut pada
transaksi dan penyelenggaraan sistem elektronik; kedua, masalah
berkaitan dengan hak asasi manusia dalam menyampaikan pendapat; dan
ketiga, masalah ketentuan sanksi (pidana), yang dianggap terlalu
berlebihan dan memberatkan. Masalah ini perlu kita perhatikan karena
implementasi peraturan (hukum) setidaknya harus dapat memberikan
kepastian, kemanfaatan, dan keadilan bagi masyarakat.
Di samping segala kelebihan dan manfaat
dari Internet, penggunaan jaringan global maya tersebut berpotensi
memiliki dampak hukum yang serius dan diperlukan langkah-langkah konkrit
untuk mengatasi masalah yang timbul sekaligus mengantisipasi berbagai
masalah hukum di masa yang akan datang. Dengan pendekatan hukum yang
saat ini telah berdasar atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, maka UU
ITE merupakan bentuk upaya perlindungan kepada masyarakat. Dan,
setidaknya UU ITE mengatur dua hal yang amat penting, Pertama :
pengakuan transaksi elektronik dan dokumen elektronik dalam kerangka
hukum perikatan dan hukum pembuktian, sehingga kepastian hukum transaksi
elektronik dapat terjamin. Kedua: diklasifikasikannya tindakan-tindakan
yang termasuk kualifikasi pelanggaran hukum terkait penyalahgunaan TI
disertai sanksi pidananya termasuk untuk tindakan carding, hacking dan
cracking.
Beberapa masalah hukum yang
teridentifikasi dalam penggunaan teknologi informasi adalah mulai dari
penipuan, pelanggaran, pembobolan informasi rahasia, persaingan curang
sampai kejahatan yang sifatnya pidana. Kejadian-kejadian tersebut sering
terjadi tanpa dapat diselesaikan secara memuaskan melalui hukum dan
prosedur penyidikan yang ada saat ini. Tentunya ini merupakan tantangan
bagi penegak hukum. UU ITE telah sangat tegas mengatur secara tegas baik
dari tata cara penyidikannya hingga perluasan alat bukti[14]. Namun bagian terpenting adalah implementasi di lapangan untuk penegakan hukum dalam kaitannya beraktivitas di dunia maya.
Dalam hukum perdata dan bisnis, urusan
yang diatur dalam UU ITE adalah didasarkan pada urusan transaksi
elektronik yang meliputi transaksi bisnis dan kontrak elektronik.[15]
Masalah yang mengemuka dan diatur dalam UU ITE tersebut adalah hal yang
berkaitan dengan masalah kekuatan dalam sistem pembuktian dari
Informasi, Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik. Pengaturan Informasi,
Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik[16].
Juga secara umum dikatakan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah,
yang merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum
Acara yang berlaku di Indonesia. Demikian halnya dengan Tanda Tangan
Elektronik, memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah. Disamping
itu Pasal 5 ayat 1 s/d ayat 3, secara tegas menyebutkan : Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan
alat bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang
sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Namun dalam
ayat (4) ada pengecualian yang menyebutkan Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik tidak berlaku untuk: a. surat yang menurut
Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b. surat beserta
dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta
notariil atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Dalam kaitannya dengan Penyelenggaraan
Sertifikasi Elektronik dan Sistem Elektronik, kewajiban Penyelenggaraan
Sertifikasi Elektronik menjadi hal yang penting diatur dalam UU ini,
misalnya Penyelenggara Sertifikasi Elektronik harus menyediakan
informasi yang akurat, jelas, dan pasti kepada setiap pengguna jasa,
yang meliputi: a. metode yang digunakan untuk mengidentifikasi Penanda
Tangan; b. hal yang dapat digunakan untuk mengetahui data diri pembuat
Tanda Tangan Elektronik; dan c. hal yang dapat digunakan untuk
menunjukkan keberlakuan dan keamanan Tanda Tangan Elektronik[17].
Sedang, bagi Penyelenggaraan Sistem Elektronik, Penyelenggara harus
menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal dan aman agar Sistem
Elektronik beroperasi sebagaimana mestinya.[18]
Dan, untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat, maka dalam UU ITE
diatur masalah berkenaan dengan transaksi secara elektronik. Hal ini
untuk menjaga hubungan antar pihak dalam menentukan rambu-rambu dalam
melaksanakan transaksi[19]
Urusan transaksi elektronik yang diatur
dalam Pasal 5 s/d 22 UU ITE merupakan inti dari masalah keperdataaan dan
bisnis. Urusan ini dalam peraturan pelaksanaan dan peraturan teknisnya
harus jelas dan detail, khususnya untuk memberikan perlindungan kepada
masyarakat, khususnya konsumen. Karena peluang pelanggaran melalui
tele-marketing, seperti pemberian informasi yang benar; perlindungan
untuk memperoleh produk sesuai dengan yang dijanjikan atau ditawarkan;
perlindungan untuk memperoleh kompensasi akibat produk seringkali tidak
sesuai dengan yang ditawarkan atau dijanjikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar