1. UUD no. 19 tentang hak cipta
Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi
Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau
memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta
sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta,
atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak
tersebut.
Fungsi dan sifat hak cipta
terdapat pada pasal 2 UU no.19 tahun 2002 yang berisi:
(1) Hak Cipta merupakan hak
eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau
memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan
dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang
berlaku.
(2) Pencipta dan/atau Pemegang
Hak Cipta atas karya sinematografi dan Program Komputer memiliki hak untuk
memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan
Ciptaan tersebut unt uk kepentingan yang bersifat komersial.
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2002
TENTANG HAK CIPTA
Indonesia sebagai negara
kepulauan memiliki keanekaragaman seni dan budaya yang sangat kaya. Hal itu
sejalan dengan keanekaragaman etnik, suku bangsa, dan agama yang secara
keseluruhan merupakan potensi nasional yang perlu dilindungi. Kekayaan seni dan
budaya itu merupakan salah satu sumber dari karya intelektual yang dapat dan
perlu dilindungi oleh undang-undang. Kekayaan itu tidak semata-mata untuk seni
dan budaya itu sendiri, tetapi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan
di bidang perdagangan dan industri yang melibatkan para Penciptanya. Dengan
demikian, kekayaan seni dan budaya yang dilindungi itu dapat meningkatkan
kesejahteraan tidak hanya bagi para Penciptanya saja, tetapi juga bagi bangsa
dan negara.
Indonesia telah ikut serta dalam
pergaulan masyarakat dunia dengan menjadi anggota dalam Agreement
Establishing the World Trade Organization (Persetujua n Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia) yang mencakup pula Agreement on Trade Related
Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan tentang Aspek-aspek
Dagang Hak Kekayaan Intelektual), selanjutnya disebut TRIPs, melalui
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Selain itu, Indonesia juga meratifikasi Berne
Convention for the Protection of Artistic and Literary Works (Konvensi
Berne tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra) melalui Keputusan Presiden
Nomor 18 Tahun 1997 dan World Intellectual Property Organization Copyrights
Treaty (Perjanjian Hak Cipta WIPO), selanjutnya disebut WCT, melalui
Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997.
Saat ini Indonesia telah
memiliki Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 dan terakhir diubah dengan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 yang selanjutnya disebut Undang – undang Hak
Cipta. Walaupun perubahan itu telah memuat beberapa penyesuaian pasal yang
sesuai dengan TRIPs, namun masih terdapat beberapa hal yang perlu disempurnakan
untuk memberi perlindungan bagi karya-karya intelektual di bidang Hak Cipta,
termasuk upaya untuk memajukan perkembangan karya intelektual yang berasal dari
keanekaragaman seni dan budaya tersebut di atas. Dari beberapa konvensi di
bidang Hak Kekayaan Intelektual yang disebut di atas, masih terdapat beberapa
ketentuan yang sudah sepatutnya dimanfaatkan. Selain itu, kita perlu menegaskan
dan memilah kedudukan Hak Cipta di satu pihak dan Hak Terkait di lain pihak
dalam rangka memberikan perlindungan bagi karya intelektual yang bersangkutan
secara lebih jelas.
Dengan memperhatikan hal-hal di
atas dipandang perlu untuk mengganti Undang-undang Hak Cipta dengan yang baru.
Hal itu disadari karena kekayaan seni dan budaya, serta pengembangan kemampuan
intelektual masyarakat Indonesia memerlukan perlindungan hukum yang memadai
agar terdapat iklim persaingan usaha yang sehat yang diperlukan dalam
melaksanakan pembangunan nasional.
Hak Cipta terdiri atas hak
ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral rights). Hak
ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan serta produk
Hak Terkait. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri Pencipta atau Pelaku
yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apa pun, walaupun Hak
Cipta atau Hak Terkait telah dialihkan.
Perlindungan Hak Cipta tidak
diberikan kepada ide atau gagasan karena karya cipta harus memiliki bentuk yang
khas, bersifat pribadi dan menunjukkan keaslian sebagai Ciptaan yang lahir
berdasarkan kemamp uan, kreativitas, atau keahlian sehingga Ciptaan itu dapat
dilihat, dibaca, atau didengar.
Contoh kasus mengenai peraturan dan regulasi tentang hak
cipta
PT. A adalah sebuah
perusahaan yang bergerak dibidang rekayasa genetika, berlangganan jurnal -
jurnal asing dengan tujuan menyediakan fasilitas referensi kepada para
penelitinya. Kebijakan PT. A tersebut berkaitan dengan research and development
( R&D ) yang dilakukan oleh PT. A untuk memperoleh produk-produk yang unggul.
Salah satu jurnal asing
tersebut adalah science and technology yang di terbitkan oleh PT. B. PT. B
adalah penerbit asing yang ada di Indonesia diwakili oleh agen penjualan
khusus. Untuk mempermudah penggunaan referensi tersebut, para peneliti
memperbanyak / menggandakan artikel-artikel dalam science dan technology dan
membuat dokumentasi berdasarkan topik topik tertentu. PT. B mengetahui
perbanyakan yang dilakukan oleh para peneliti PT. A dan PT. B berpendapat bahwa
perbanyakan yang dilakukan oleh para peneliti PT. A telah melanggar hak cipta.
PT. A adalah perusahaan
yang bergerak di bidang penyediaan referensi untuk para penelitinya untuk
pengembangan pendidikan.
PT. B adalah perusahaan
yang memuat ilmu pengetahuan yang bisa dijadikan refrensi ilmu pengetahuan.
PT. B adalah perusahaan
asing yang ada di Indonesia hanya diwakili oleh agen penjualan khusus
2. UU No.36 Tentang Telekomunikasi
Penjelasan UU No.36 Tentang
Telekomunikasi
Secara umum undang-undang Nomor 36
Tahun tentang Telekomunikasi, pembangunan dan penyelenggaraan telekomunikasi
telah menunjukkan peningkatan peran penting dan strategis dalam menunjang dan mendorong
kegiatan perekonomian, memantapkan pertahanan dan keamanan, mencerdaskan
kehidupan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintah an, memperkukuh persatuan
dan kesatuan bangsa dalam kerangka wawasan nusantara, dan memantapkan ketahanan
nasional serta meningkatkan hubungan antar bangsa. Perubahan lingkungan global
dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang berlangsung sangat cepat
mendorong terjadinya perubahan mendasar, melahirkan lingkungan telekomunikasi
yang baru, dan perubahan cara pandang dalam penyelenggaraan telekomunikasi,
termasuk hasil konvergensi dengan teknologi informasi dan penyiaran sehingga
dipandang perlu mengadakan penataan kembali penyelenggaraan telekomunikasi
nasional.
pada UU No. 36 Pasal 2 menjelaskan
Azas Telekomunikasi, yang berbunyi:Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan
asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan
kepercayaan pada diri sendiri.
Contoh kasus UU No.36 Tentang
Telekomunikasi
Seperti
yang kita ketahui, kasus Prita Mulyasari merupakan kasus pelanggaran terhadap
UU ITE yang mengemparkan Indonesia. Nyaris berbulan-bulan kasus ini mendapat
sorotan masyarakat lewat media elektronik, media cetak dan jaringan sosial
seperti facebook dan twitter.
Prita
Mulyasari adalah seorang ibu rumah tangga, mantan pasien Rumah Sakit Omni
Internasional Alam Sutra Tangerang. Saat dirawat di Rumah Sakit tersebut Prita
tidak mendapat kesembuhan namun penyakitnya malah bertambah parah. Pihak rumah
sakit tidak memberikan keterangan yang pasti mengenai penyakit Prita, serta pihak
Rumah Sakitpun tidak memberikan rekam medis yang diperlukan oleh Prita.
Kemudian Prita Mulyasari mengeluhkan pelayanan rumah sakit tersebut melalui
surat elektronik yang kemudian menyebar ke berbagai mailing list di dunia maya.
Akibatnya, pihak Rumah Sakit Omni Internasional marah, dan merasa dicemarkan.
Lalu
RS Omni International mengadukan Prita Mulyasari secara pidana. Sebelumnya
Prita Mulyasari sudah diputus bersalah dalam pengadilan perdata. Dan waktu
itupun Prita sempat ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang sejak 13
Mei 2009 karena dijerat pasal pencemaran nama baik dengan menggunakan
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Kasus ini kemudian
banyak menyedot perhatian publik yang berimbas dengan munculnya gerakan solidaritas
“Koin Kepedulian untuk Prita”. Pada tanggal 29 Desember 2009, Ibu Prita
Mulyasari divonis Bebas oleh Pengadilan Negeri Tangerang.
Contoh
kasus di atas merupakan contoh kasus mengenai pelanggaran Undang-Undang Nomor
11 pasal 27 ayat 3 tahun 2008 tentang UU ITE. Dalam pasal tersebut tertuliskan
bahwa: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau
mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan
/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/ atau pencemaran
nama baik.
Sejak
awal Dewan Pers sudah menolak keras dan meminta pemerintah dan DPR untuk
meninjau kembali keberadaan isi dari beberapa pasal yang terdapat dalam UU ITE
tersebut. Karena Undang-undang tersebut sangat berbahaya dan telah membatasi
kebebasan berekspresi (mengeluarkan pendapat) seseorang. Selain itu beberapa
aliansi menilai : bahwa rumusan pasal tersebut sangatlah lentur dan bersifat
keranjang sampah dan multi intrepretasi. Rumusan tersebut tidak hanya
menjangkau pembuat muatan tetapi juga penyebar dan para moderator milis, maupun
individu yang melakukan forward ke alamat tertentu.
Oleh
karena itu dengan adanya hukum tertulis yang telah mengatur kita hendaknya kita
selalu berhati-hati dalam berkomunikasi menggunakan media. Menurut saya dengan
adanya kasus yang telah menimpa Prita menjadi tersangka atas pencemaran nama
baik/ dan mendapat sanksi ancaman penjara selama 6 tahun dan denda sebesar Rp.
1 M, kita harus lebih berhati-hati dalam menghadapi perkembangan Teknologi di
era globaliosasi ini. Hendaknya kita dapat mengontrol diri kita sendiri jika
akan menulis di sebuah akun. Kasus Prita ini seharusnya kita jadikan pelajaran
untuk melakukan intropeksi diri guna memperbaiki sistem hukum dan Undang-undang
yang banyak menimbulkan perdebatan dan pertentangan. Selain itu seharusnya
pihak membuat undang-undang hendaknya lebih jelas dan lebih teliti dalam
memberikan sanksi sesuai dengan aturan dalam UU yang berlaku. Hukum yang telah
ada memang kadang kurang bisa terima dengan baik dan menimbulkan perdebatan di
berbagai kalangan. Bayangkan saja ketika kasus tersebut menimpa rakyat miskin.
Sedangkan jika dibandingkan dengan kasus korupsi yang terjadi di Negara kita,
hal itu kurang sepadan dan seolah hukum menjadi kurang adil untuk kita.
3. UUD tentang informasi dan
transaksi
Undang-undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah ketentuan yang berlaku untuk
setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar
wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia
dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) mengatur berbagai perlindungan hukum
atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun
pemanfaatan informasinya. Pada UUITE ini juga diatur berbagai ancaman hukuman
bagi kejahatan melalui internet. UUITE mengakomodir kebutuhan para pelaku
bisnis di internet dan masyarakat pada umumnya guna mendapatkan kepastian
hukum, dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan digital sebagai bukti
yang sah di pengadilan.
Kedua
naskah akademis tersebut pada akhirnya digabung dan disesuaikan kembali oleh
Tim yang dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama pemerintah), sehingga
namanya menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana
disahkan oleh DPR.Penyusunan materi UUITE tidak terlepas dari dua naskah
akademis yang disusun oleh dua institusi pendidikan yakni Unpad dan UI. Tim
Unpad ditunjuk oleh Departemen Komunikasi dan Informasi sedangkan Tim UI oleh
Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Pada penyusunannya, Tim Unpad
bekerjasama dengan para pakar di ITB yang kemudian menamai naskah akademisnya
dengan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Sedangkan Tim UI menamai
naskah akademisnya dengan RUU Transaksi Elektronik.
Contoh Kasus UU Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE):
Pada
pemilu 2004, saat pemilu multi partai kedua dan pemilihan presiden langsung
pertama kali di Indonesia ada sebuah perbincangan hangat, yakni system
teknologi informasi yang digunkana oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Sistem
TI sudah pasti akan menjadi sasaran kritik pihak-pihak lain. Situs KPU yang
digunakna untuk menampilkan data perhitungan suara itu tidak hanya dikritisi,
melainkan juga di jahili.
Pada
awalnya KPU sangat sombong dengan system mereka, Mereka menganggap system ini
sangat aman. Hal ini mengundang ketertarikan para hacker dan cracker untuk
menguji system tersebut
Peristiwa
tersebut terjadi pada tanggal 17 April 2004 dengan target situs
http://tnp.kpu.go.id, pelaku yang bernama Dani Firmansyah merasakan
adrenalinnya terangsang begitu cepat ketika mendengar pernyataan Ketua Kelompok
Kerja Teknologi Informasi KPU Chusnul Mar’iyah bahwa sistem keamanan Situs KPU
99.99% aman dari serangan hacker. Maka pelaku pun memulai serangannya ke situs
KPU tersebut selama kurang lebih 5 hari hingga ia pun berhasil men-deface
tampilan situs KPU dengan mengganti nama-nama partai peserta pemilu. Alur
tindak kejahatannya di mulai dari “warnet warna” yang berlokasi di Jogyakarta.
Tersangka mencoba melakukan tes sistem security kpu.go.id melalui XSS (Cross
Site Scripting) dan Sistem SQL injection dengan menggunakan IP Publik PT.
Danareksa 202.158.10.***. Pada layer identifikasi nampk keluar message risk dengan
level low (ini artinya web site KPU tidak dapat ditembus),
Pada
17 April 2004 jam 03.12.42 WIB, tersangka mencoba lagi untuk menyerang server
KPU dan berhasil menembus IP (tnp.kpu.go,id) 203.130.***.*** serta berhasil
update tabel nama partai pada pukul 11.24.16. sampai 11.34.27 WIB. Adapun
teknik yang dipakai tersangka melalui teknik spoofing (penyesatan) yaitu
tersangka melakukan hacking dari IP 202.158.10.*** kemudian membuka IP proxy
Anonimous (tanpa nama) Thailand 208.***.1. lalu masuk ke IP (tnp.kpu.go.id)
203.130.***.*** dan berhasil merubah tampilan nama partai.
Setelah
kejadian tersebut tim penyelididik Satuan Cyber Crime Krimsus Polda Metro Jaya
yang di ketua oleh AKBP Pol Petrus R Golose mulai melakukan pengecekan atas log
file server KPU. Tim penyelidik melakukan penyelidikan dengan cara membalik.
“Bukan dari 208.***.1 (server di Thailand) untuk mengetahui apakah pelaku
mengakses IP 208.***.1. atau tidak.
Tidak
sengaja tim perburuan bertemu dengan seseorang yang kenal dengan Dani di
internet ketika sedang chatting. Kemudian tim penyidik menemukan salah satu IP
address di log KPU, ada yang berasal dari PT. Danareksa. Lalu belakangan
diketahui bahwa seseorang yang diajak chatting dengan polisi untuk mencari
informasi tentang Dani tersebut adalah Fuad Nahdi yang memiliki asal daerah
yang sama dengan Dani, dan merupakan admin di Warna Warnet. “Jadi nickname-nya
mengarah ke Dani dan IP addres-nya mengarah ke tempat kerjanya Dani. Dari hasil
investigasi, keluar surat perintah penangkapan atas Dani Firmansyah yang
berhasil dibekuk di kantornya di Jakarta.
Ketiadaan
undang-undang cyber di Indonesia membuat Dani Firmansyah situs Tabulasi
Nasional Pemilu milik KPU dijerat dengan pasal-pasal UU No 36/1999 tentang
Telekomunikasi. Ada tiga pasal yang menjerat adalah sebagai berikut :
1.
Dani Firmansyah, hacker situs KPU dinilai terbukti melakukan tindak pidana yang
melanggar pasal 22 huruf a, b, c, Pasal 38 dan Pasal 50 UU No 36 tahun 1999
tentang Telekomunikasi.
2.
Pada pasal 22 UU Telekomunikasi berbunyi :
Setiap
orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak,tidak sah atau memanipulasi :
a.
akses ke jaringan telekomunikasi; dan atau
b.
akses ke jasa telekomunikasi; dan atau
c.
akses ke jaringan telekomunikasi khusus.
3.
Selain itu Dani Firmansyah juga dituduh melanggar pasal 38 Bagian ke-11 UU
Telekomunikasi yang berbunyi “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang
dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggara
telekomunikasi.” Internet sendiri dipandang sebagai sebuah jasa telekomunikasi.
Internet
dipandang sebagai sebuah jasa telekomunikasi dan diatur di dalam Keputusan
Menteri Perhubungan No 21 tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jasa
Telekomunikasi. Pada pasal 3 berbunyi bahwa Penyelenggaraan jasa telekomunikasi
terdiri atas :
a.
Penyelenggaraan jasa teleponi dasar;
b.
Penyelenggaraan jasa nilai tambah teleponi;
c.
Penyelenggaraan jasa multimedia.
Pada
pasal 46 lebih lanjut dijelaskan bahwa sebagaimana dimaksud dengan pasal 3
huruf c, penyelenggaraan jasa multimedia termasuk antara lain :
a.
jasa televisi berbayar
b.
jasa akses internet (internet service provider);
c.
jasa interkoneksi internet (NAP);
d.
jasa internet teleponi untuk keperluan publik;
e.
jasa wireless access protocol (WAP);
f.
jasa portal
g.
jasa small office home office (SOHO);
h.
jasa transaksi on-line;
i.
jasa aplikasi packet-switched selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c,
d, e, f, g dan huruf h.
Ancaman
hukuman bagi tindakan yang dilakukan Dani Firmansyah adalah sesuai dengan bunyi
pasal 50 UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi berbunyi “Barang siapa yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”
Undang-undang
No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi pada Pasal 38 menyebutkan “Setap orang
dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan
elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi”. Undang-undang
tersebut sebetulnya tidak relevan dipakai untuk menjerat hacker, sebab gangguan
yang dimaksud adalah gangguan yang bersifat infrasturuktur dan proses transmisi
data, bukan mengenai isi (content) informasi.
Alat-alat
bukti yang sah menurut KUHAP Pasal 184 (1) adalah sebagai berikut :
1.
Keterangan saksi
2.
Keterangan ahli
3.
Surat
4.
Petunjuk
5.
Keterangan terdakwa.